"Terkadang kerinduan masa sekolah tidak melulu hadir lewat bangku-bangku yang berjajar di dalam kelas. Sebidang lahan di bawah rindang rumpun bambu menghadirkan ingatan masa sekolah yang penuh keriangan"
Sebuah foto lama hadir saat saya secara acak menelusuri album lama grup sekolah menengah pertama saya. Kebun belakang sekolah yang kerap kami tanami pohon singkong sangat akrab di mata saya dan teman-teman kala itu.
Itulah kebun kecil di mana kami menghabiskan sebagian masa belajar dan menikmati kenakalan-kenakalan kecil.
Ingatan pertama tentu saja jatuh pada hari di mana kami memanen singkong-singkong yang tersembunyi di bawah gemburnya tanah merah kecoklatan itu. Setelah lebih dari 3 bulan menyemai stek-stek singkong, menyiramnya tatkala pagi hari sebelum pelajaran dimulai, memetik pucu-pucuk mudanya secara berkala. Dan puncaknya tentu memanen umbi akar yang menggelembung besar itu. Usai panen, kami berpesta.....membakar umbi-umbi singkong dalam bara api yang memanas di siang yang terik. Entah bagaimana rasanya, umbi singkong yang dibakar tanpa satupun bumbu yang kami taburi. Yang jelas rasanya sungguh nikmat kala itu.
Di kebun belakang sekolah ini pula, seorang guru kesayangan kami yang mengajarkan pelajaran Bahasa Inggris, membebaskan kami dalam suatu kesempatan. Suatu ketika, ia memberikan tugas latihan yang arus kami kumpulkan ketika lonceng istirahat berdentang. Ia paham, kami adalah kumpulan anak-anak yang tak bisa duduk diam menyimak. Sebagian besar kami, nampaknya jenis pembelajar kinestetik yang tak bisa duduk manis di dalam kelas. Maka, ia membebaskan kami mengerjakan tugas di mana saja. Di kelas, kantin, selasar kelas bahkan kami boleh mengerjaannya di kebun belakang kelas. Alhasil, tak sedikit buku tugas kami yang ternoda tanah kecoklatan, sebuah tanda mata kecil dari kebun di belakang kelas kami itu.
Tak jarang, beberapa anak lelaki menelusup pergi diam-diam dari pelajaran sekolah. Mereka mengendap-ngendap di balik batang-batang phon singkong yang telah meninggi, yang meliuk-liuk ditiup angin. Pagar pembatas sekolah yang berkawat duri tak menghalangi kenekatan mereka. Berpacu dengan adrenalin, mereka nekad menembusnya. Detik itu juga, rumpun bambu di balik pagar berduri itu menyambut anak-anak itu, menyembunyikantubuh mereka dalam kerapatan rumpun-rumpun hijaunya.
Lain waktu, saya dan beberapa teman yang kerap terlambat harus menjalani sebuah hukuman. Kami terlambat hadir pada kelas Kesenian. Guru Kesenian kami, yang kala itu berwajah bak Ratu Penyihir, tak mengizinkan kami hadir mengikuti pelajaran di di ruang kelas. Kami harus menunggu hingga kelas berakhir, kami menunggu di kebun belakang kelas. Rupanya, kebun belakang kelas tak hanya ada saat kami berseang-senang. Kebun kami itu juga turut hadir saat kami bersedih menjalani hukuman.
Terkadang, cerita lama dari sekolah, bukan melulu soal bangku kelas atau siapa pacar pertamamu. Terkadang, cerita lama dari sekolah adalah tentang kebun kecil di belakang kelasmu.
Foto koleksi Alumni 1991
Kiriman Ita Yunita